Sejarah dunia menunjukkan, militer tak pernah benar-benar hanya soal perang. Dari Mesir kuno, Romawi, hingga negara modern, tentara kerap menjadi tulang punggung negara, tidak hanya menjaga perbatasan, tetapi juga membangun jalan, membagi pangan, bahkan mengatur kehidupan sipil.
Dalam situasi darurat, keberadaan mereka dianggap penyelamat. Namun di luar darurat, kehadiran militer dalam ruang sipil selalu menimbulkan dilema: antara efisiensi dan dominasi, antara perlindungan dan pengendalian.
Indonesia kini kembali berada di persimpangan dilema itu. Di era Presiden Prabowo Subianto, seragam loreng tak hanya terlihat di barak atau medan latihan, tetapi juga di sekolah, pasar, hingga dapur umum.
Pemerintah menyebutnya bagian dari pertahanan universal bahwa ketahanan bangsa bukan sekadar soal senjata, melainkan juga soal gizi, kesehatan, dan kesejahteraan.
Sebuah iklan penuh di koran nasional baru-baru ini merangkum semangat itu dengan lugas: “No Longer Just Military.” Pesannya sederhana, tentara bukan lagi sekadar penjaga perbatasan, tetapi kini hadir sebagai mitra pembangunan. Tetapi justru di situlah perdebatan dimulai.
Efisiensi yang Berujung Tragedi
Argumen pemerintah sederhana, birokrasi sipil terlalu lamban, TNI lebih cepat dan disiplin. Maka dari itu, mereka dianggap cocok memimpin program makan gratis yang jadi kebanggaan Presiden Prabowo. Anggaran pun dikucurkan dalam jumlah fantastis.
Namun cerita di lapangan tak seindah slogan. Hanya dalam beberapa bulan, ribuan siswa dari berbagai daerah dilaporkan keracunan makanan. Di ruang-ruang kelas yang sederhana, anak-anak muntah bergantian, sementara orang tua panik mencari pertolongan.
Semua orang bertanya, jika militer adalah solusi atas ketidakdisiplinan birokrasi sipil, mengapa bencana ini masih terjadi?
Prioritas yang Dipertanyakan
Di Senayan, DPR baru saja mengesahkan APBN 2026. Di dalamnya, pos untuk program makan gratis dan kerja-kerja sosial militer membengkak, sementara alokasi untuk pendidikan daerah dan perbaikan infrastruktur dipangkas.
Bagi para pengkritik, ini adalah ironi. Indonesia yang masih kekurangan guru dan sekolah layak, justru lebih banyak menaruh uangnya pada program yang didistribusikan lewat rantai logistik tentara. “Apakah kita sedang membangun birokrasi sipil yang kuat, atau malah membiarkan sipil makin tergantung pada meliter?” begitu pertanyaan yang menggema di forum-forum diskusi kampus.
Bayang-Bayang Otoritarian
Di luar soal anggaran, ada kekhawatiran yang lebih dalam, remilitarisasi ruang sipil. Reformasi 1998 berjuang keras untuk menyingkirkan tentara dari ranah politik dan pemerintahan. Kini, mereka kembali hadir, hanya saja dengan wajah baru, penyelamat pangan, pengelola obat, bahkan manajer perkebunan.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Sejarah mencatat, begitu militer diberi ruang terlalu luas di ranah sipil, kontrol publik melemah. Kritik jadi terbatas, dan akuntabilitas hilang. Skenario itu pernah membawa bangsa ini ke masa kelam penuh represi. Apakah kita akan mengulanginya dengan bungkus yang berbeda?
Resiko Internasional
Pemerintah menyebut ini bagian dari pertahanan universal gagasan bahwa ketahanan negara tak hanya soal senjata, tetapi juga soal gizi, kesehatan, dan kesejahteraan. Di atas kertas, konsep ini tampak progresif. Namun di panggung internasional, langkah ini dibaca dengan kecurigaan.
Media asing seperti Financial Times menyorot keterlibatan militer dalam program sipil sebagai tanda kemunduran demokrasi Indonesia.
Investor pun mulai bertanya-tanya, bagaimana memastikan transparansi bila urusan pangan dan obat-obatan ditangani oleh lembaga yang tertutup rapat dari pengawasan sipil?
Efisiensi atau Ilusi?
Di titik ini, kisah militer di ruang publik menjadi semacam drama politik, antara niat baik yang diiklankan dengan megah, dan kenyataan pahit di lapangan yang penuh celah.
Pemerintah mungkin percaya bahwa Militer adalah simbol ketertiban. Namun masyarakat sipil melihat sesuatu yang berbeda, sebuah pola lama yang kembali menyusup pelan-pelan.
Efisiensi yang dijanjikan ternyata bisa jadi ilusi. Ya, tentara mampu mendistribusikan kotak nasi lebih cepat. Tapi jika isinya basi, apakah kecepatan itu berarti?
Menimbang Jalan Tengah
Bukan berarti militer harus menutup diri sepenuhnya dari urusan sipil. Dalam situasi darurat bencana alam, wabah, atau konflik keterlibatan mereka terbukti menyelamatkan banyak nyawa. Tapi menjadikan militer sebagai aktor utama program kesejahteraan? Itu soal lain.
Jika pemerintah sungguh ingin rakyat sehat dan sejahtera, jalan terbaik adalah memperkuat birokrasi sipil, bukan menggantinya. Militer bisa mendukung, tetapi kendali harus tetap di tangan lembaga sipil yang terbuka terhadap kritik dan pengawasan.
Cermin Reformasi
Dua puluh lima tahun lalu, bangsa ini berdiri di jalan buntu dan memilih reformasi. Salah satu janji besarnya adalah mengembalikan tentara ke barak, membiarkan sipil mengurus sipil. Kini, janji itu diuji kembali.
Ketika Militer turun ke pasar, ke sekolah, bahkan ke dapur rumah tangga, kita harus bertanya, apakah ini wujud negara yang lebih tangguh, atau justru tanda bahwa kita sedang berjalan mundur dengan wajah tersenyum?
Sejarah telah memberi pelajaran mahal. Tinggal sekarang: apakah kita mau belajar, atau sekadar mengulang cerita lama dengan sampul baru.
Leave a Comment